PBB Perang Siber: Mampukah Helm Biru 2.0 Beradaptasi di Era Disinformasi

PBB Perang Siber: Mampukah Helm Biru 2.0 Beradaptasi di Era Disinformasi

PBB perang siber kini menjadi isu besar di era digital. Garis depan tidak lagi hanya diisi oleh parit dan tank, melainkan juga oleh jaringan internet dan algoritma. Perang siber dan disinformasi telah muncul sebagai ancaman baru yang serius terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Pertanyaannya, mampukah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sebuah organisasi yang dibentuk pasca-Perang Dunia II, beradaptasi dengan musuh-musuh tak kasat mata ini? Apakah instrumen-instrumennya, yang dirancang untuk konflik konvensional, masih relevan?

Ancaman Baru di Abad ke-21

Perang siber, seperti serangan terhadap infrastruktur penting (listrik, komunikasi), dapat melumpuhkan sebuah negara tanpa perlu melepaskan satu pun peluru. Sementara itu, disinformasi—penyebaran informasi palsu secara sengaja—mampu memicu perpecahan sosial, mengganggu pemilu, dan bahkan memprovokasi konflik bersenjata. Kedua ancaman ini bekerja secara sinergis, memanfaatkan celah dalam sistem hukum dan institusi global yang ada.

PBB menghadapi tantangan unik dalam merespons ancaman ini:

  • Anonimitas: Sangat sulit untuk melacak dan mengidentifikasi pelaku serangan siber, yang bisa jadi adalah aktor negara, kelompok teroris, atau individu.
  • Definisi yang Tidak Jelas: Tidak ada konsensus global tentang apa yang secara resmi merupakan “serangan siber” atau “tindakan perang” di ranah digital.
  • Kecepatan dan Skala: Disinformasi dapat menyebar ke seluruh dunia dalam hitungan detik, jauh lebih cepat daripada respons diplomatik PBB yang biasanya lambat.

Upaya PBB Sejauh Ini

Meskipun lambat, PBB tidak sepenuhnya pasif. Beberapa inisiatif telah diluncurkan untuk mengatasi tantangan ini:

    • Kelompok Ahli Pemerintah (GGE)

      PBB telah membentuk Kelompok Ahli Pemerintah (GGE) yang berupaya mengembangkan norma-norma perilaku siber yang bertanggung jawab. GGE telah menghasilkan beberapa laporan yang menyerukan agar negara-negara tidak menargetkan infrastruktur sipil vital dan bahwa hukum internasional, termasuk Piagam PBB, berlaku juga di dunia maya. Meskipun ini merupakan langkah maju, norma-norma ini bersifat sukarela dan tidak mengikat secara hukum.

    • Kantor PBB untuk Perlucutan Senjata (UNODA)

      UNODA telah memimpin diskusi tentang keamanan siber sebagai masalah perlucutan senjata. Mereka bertujuan untuk mencegah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk tujuan yang tidak damai. Fokusnya adalah pada pembangunan kapasitas dan transparansi antara negara-negara untuk mengurangi risiko eskalasi.

    • Respon Terhadap Disinformasi

      PBB juga mulai mengambil langkah-langkah untuk memerangi disinformasi, terutama terkait dengan COVID-19. Organisasi ini meluncurkan inisiatif seperti “Verified” untuk mempromosikan informasi yang akurat dan berbasis sains. Sekretaris Jenderal PBB juga telah berulang kali menyerukan kerja sama global untuk melawan “infodemik” yang merusak.

Jalan ke Depan: Adaptasi atau Menjadi Usang?

Untuk tetap relevan, PBB harus beradaptasi secara fundamental. Beberapa langkah krusial yang perlu di ambil adalah:

  • Pembentukan Kerangka Hukum Internasional

    PBB harus memimpin perumusan perjanjian internasional yang mengikat secara hukum untuk mendefinisikan dan mengatur tindakan di dunia siber. Ini termasuk menetapkan batasan yang jelas untuk serangan siber dan mengamanatkan kerja sama dalam menuntut pelaku kejahatan siber.

  • Peningkatan Kapasitas

    Misi-misi penjaga perdamaian PBB dan operasi kemanusiaannya harus di lengkapi dengan kemampuan siber untuk melindungi diri dari serangan dan mengumpulkan informasi yang akurat di tengah banjir disinformasi.

  • Kerja Sama dengan Sektor Swasta dan Komunitas Teknologi

    PBB tidak dapat menghadapi tantangan ini sendirian. Kerjasama erat dengan perusahaan teknologi, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil sangat penting untuk mengembangkan alat, platform, dan strategi yang efektif untuk mendeteksi dan melawan disinformasi dan ancaman siber.

Pada akhirnya, adaptasi PBB terhadap ancaman digital bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Piagam PBB, yang di tandatangani di atas kertas, harus di perbarui secara esensial untuk mencakup tantangan yang terjadi di dunia yang sepenuhnya terhubung. Hanya dengan demikian, PBB dapat terus berfungsi sebagai penjaga perdamaian global di era di mana perang tidak lagi hanya terjadi di medan tempur, tetapi juga di layar kita masing-masing.